Selasa, 03 Desember 2019

Terdiam

Halo teman - teman. Saya mau sedikit cerita nih. Semoga nantinya cerita saya ini ada manfaatnya bagi teman - teman. Nama dan tempat kejadian saya samarkan agar teman - teman lebih berfokus pada ceritanya dan dapat mengambil hal - hal yang baik dan bermanfaat nantinya.

Beberapa waktu yang lalu, saya tengah berada di suatu tempat dan sedang membaca buku. Tetiba, seorang bapak mengajak saya mengobrol. Pembicaraan awal selayaknya orang yang basa - basi agar suasana lebih cair. Pembicaraannya pun berkisar di : makanan favorit di daerah ini, sudah ke tempat wisata mana saja, dan ke depannya mau lanjut studi di bidang apa. Saya pun menanggapi dengan bertanya lebih lanjut tentang makanan apa yang kira - kira belum saya coba dan harus saya coba, tempat wiasata menarik lainnya, dan untuk lanjut studi di bidang apa, saya hanya menjawab dengan : "Masih saya pikir dulu, Pak."

Kemudian tiba - tiba si Bapak masuk ke topik yang tidak saya duga. Beliau mengatakan kalau saya termasuk anak yang serius belajar. Dan beliau mengatakan anak - anak dari sebuah daerah 'X', pada malas - malas. Saya terdiam sejenak, berharap si Bapak memberikan penjelasan lebih lanjut atau mengoreksi kalimat yang sudah ia ucapkan.

Si Bapak tetap mengeneralisasi kalau pelajar dari daerah 'X' tersebut malas - malas dan hanya mau berpesta. Karena sudah tiga kali kalimat itu selalu di ulang - ulang, akhirnya saya menjawab : " Uhmm... mungkin tidak semua, Pak. Pasti ada anak yang rajin juga. Sama hal nya di daerah lain juga pasti ada yang rajin dan ada yang tidak. "

Si Bapak menguatkan argumennya dengan mengatakan bahwa dari daerah tersebut memang begitu semua. Saya terdiam. Apakah Bapak tersebut pernah mengalami kejadian yang tidak mengenakkan sehingga bisa yakin betul kalau semua, ya saya ulangi lagi .... semua anak dari daerah tersebut malas - malas. Dengan cara yang halus saya bertanya, apakah Bapak tersebut pernah bertemu langsung dan berbicara langsung atau mengenal secara dekat anak - anak tersebut. Si Bapak hanya menjawab : " Ya, saya tau - tau gitu aja. Saya lihat aja sih... tapi sepenglihatan saya ya... memang begitu semua. "

Saya terdiam kembali. Kemudian, saya mengatakan, " Kalau begitu, Pak... Nanti kita bantu doa ya, Pak, semoga akses pendidikan di sana bisa lebih terjangkau dan kualitasnya dapat ditingkatkan. "

Si Bapak kembali menjawab, " Ah... mereka itu paling - paling di kasih fasilitas pendidikan juga tetap malas - malasan. Toh buktinya di sini juga semua malas - malasan. "

Saya kembali mengatakan, " Ya, mungkin tidak semua, Pak... Pasti ada yang rajin juga. Kita bantu ya Pak, setidaknya dengan doa untuk saudara - saudara kita di sana... "

Si Bapak masih tetap berargumen dan mengatakan memang mereka yang malas. Saya pun akhirnya memutuskan untuk diam dan tersenyum sembari mendengarkan sebentar lanjutan kalimat Bapak tersebut sembari sesekali menatap kembali buku saya. Ya, saya berharap bisa kembali melanjutkan bacaan saya. 

Sesampainya di kos, saya merenung. Saya pun mengambil beberapa bagian :

- Untuk diri saya sendiri, jika saat ini masih belum ada kesempatan untuk membantu secara langsung, seminimal mungkin, saya akan bantu melalui doa. 
- Kejadian tersebut mengingatkan saya untuk tidak berpikiran sama dengan beliau pada saat itu : jangan menganggap diri superior daripada yang lain. Kita sama - sama manusia. Juga, jangan menggeneralisasi. 
- Terkadang berkomentar itu mudah. Tetapi alangkah lebih baik jika berkomentar disertai pemikiran untuk solusi dari hal yang di komentari tersebut. Biar solusi paling sederhana mungkin. Setidaknya tidak hanya komentar tanpa solusi. 

Semoga cerita yang saya bagikan ini ada manfaatnya bagi teman - teman juga... :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar